1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

100 Tahun Hari Perempuan Internasional : Kuota Perempuan Masih Diperlukan di Eropa

9 Maret 2011

Konferensi di Brusels mengenai “Perempuan dan Politik,” mengungkap bahwa masih terdapat kesenjangan tinggi ihwal peran serta perempuan Eropa dalam politik.

https://p.dw.com/p/10Vqo
Foto: Picture-Alliance/dpa

Bersama Amerika dan Australia, Eropa dianggap yang paling maju ihwal hak-hak perempuan. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, misalnya, merupakan hal yang sudah terlarang secara hukum. Namun bukan berarti semuanya sudah beres sepenuhnya. Parlemen Eropa mengungkap masih sangat senjangnya partisipasi perempuan dalam politik dan berbagai bidang.

Ketua Komisi Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender, Eva-Britt Svensson, asal Swedia, yang di Parlemen Eropa tergabung dalam fraksi kiri, menandaskan, “Begitu banyak kemajuan tercapai sejak dimulainya gerakan perempuan menuntut hak untuk bekerja, memilih dan memperoleh pendidikan. Parlemen eropa sendiri, dengan 35.2% anggotanya perempuan, merupakan yang paling memilki keseimbangan gender sejauh ini. Tetapi secara umum peralihan ke arah kesetaraan gender tidak berjalan cukup cepat, dan masih banyak yang harus diupayakan”.

Mary Robinson in Mexiko
Mantan Ketua Dewan HAM PBB dan Presiden Irlandia, Mary RobinsonFoto: AP

Disebutkan, di dua dari 27 negara anggota Uni Eropa, keterwakilan perempuan masih kurang dari 10 persen. Sementara secara garis besar, jumlah anggota parlemen perempuan di 17 negara Eropa, kurang dari 23 persen. Keterwakilan perempuan di jabatan eksekutif politik, juga berkisar pada angka yang sebanding.

Menandai 100 tahun Hari Perempuan Sedunia, Komisi Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender Parlemen Eropa secara khusus merekomendasikan penetapan kuota keterwakilan perempuan. Khususnya di sektor politik.

Gagasan ini mendapat dukungan luas, juga dari politikus lelaki. Ketua Parlemen Eropa asal Polandia, Jerzy Buzek dalam pidatonya di Konferensi “Perempuan dan Politik” di Brusels menyatakan, di Parlemen Eropa, lebih dari 40 persen wakil pimpinan parlemen serta ketua komisi dijabat perempuan. Namun katanya ini masih jauh dari cukup. Khususnya untuk parlemen nasional 27 negara anggota. Ditegaskannya, negara-negara anggota harus mengubah sistem pemilihan umum nasional agar memungkinkan perempuan lebih terlibat dalam politik.

“Pada awal sekali, perempuan berjuang untuk mendapatkan sekadar hak untuk bekerja semata. Kini mereka berjuang memperoleh gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama dengan lelaki. Hal yang sama terjadi dengan hak suara. Mereka berhasil mendapat hak memilih seratus tahun lalu, tetapi hari-hari ini kaum perempuan masih saja mengalami diskriminasi dalam hal hak untuk dipilih. Ini juga terjadi di negara saya sendiri. Karena itu saya sejak awal ikut berjuang untuk menetapkan adanya kuota perempuan. Dan kuota itu kini berlaku di Parlemen Polandia”, begitu Buzek dalam pidatonya.

Kehendak dan tekad lembaga-lembaga Uni Eropa untuk menghapus sepenuhnya diskriminasi perempuan di segala bidang, bukanlah sekadar urusan kelayakan dan keadilan semata. Melainkan, kata bekas ketua parlemen Eropa, Nicole Fontaine, karena hal ini terkait langsung dengan bagaimana demokrasi berjalan.

Ini suatu nilai fundamental dalam membangun Eropa, dan menjaga harmonisnya lembaga-lembaga kemasyarakatan, begitu tambah Nicole Fontaine, “Parlemen tak bisa berjuang sendirian. Pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa, serta partai-partai politik mesti terus menggalang kaum perempuan untuk terlibat dalam partisipasi politik. Soal kuota, ini memang kerap kontroversial. Betapapun kami sudah mengkaji, bahwa penetapan kesetaraan gender melalui suatu perundangan yang mengikat, bisa sangat berdampak positif untuk mengubah keadaan.”

Frauen in Wahllokal in Bamyan Afghanistan September 2010
Perempuan Afghanistan memilihFoto: DW

Sistem sosial yang masih memelihara nilai-nilai tradisional, merupakan penyebab utama masih minimnya partisipasi politik perempuan. Bekas Ketua Dewan HAM PBB yang juga presiden perempuan pertama Irlandia, Mary Robinson menegaskan, hambatan tradisional juga masih sangat kuat pengaruhnya bukan saja dalam menghalangi perempuan untuk mencalonkan diri. Namun juga menjadi faktor penentu yang membuat calon perempuan terkalahkan. Misalnya keterbatasan sumber dana, beban kewajiban keluarga yang tak seimbang, rendahnya kepercayaan di kalangan masyarakat yang didominasi kultur lelaki.

Karenanya, kata Mary Robinson, tanpa kuota sangatlah susah untuk mengubah keseimbangan gender di politik. Kuota, kata Mary Robinson, mutlak diperlukan, setidaknya untuk jangka pendek. Disebutkannya, ini sudah berlaku di berbagai negara dan berjalan sangat baik. Kendati di banyak negara lain, termasuk negaranya sendiri, Irlandia, terdapat penentangan yang sangat kuat.

Secara khusus Mary Robinson menyinggung perkembangan mutakhir di tanah Arab, yang menurutnya memberi harapan baru bagi kaum perempuan.

Dikatakannya, “Di berbagai bagian dunia, perjuangan ini baru terjadi belakangan saja, dan bahkan masih terus berlangsung. Perempuan di Kuwait tidak punya hak dipilih hingga tahun 2005 lalu. Perempuan di kawasan Arab terus berjuang untuk ikut dalam pemilihan parlemen dan pencalonan untuk posisi di kabinet. Ini bisa berubah cepat, seiring kenyataan baru. Sebagaimana bisa kita lihat betapa banyak perempuan, khususnya perempuan muda yang turun ke jalan dalam gerakan demokrasi di Afrika Utara, di negara-negara Arab. Mereka, tanpa mempedulikan kekerasan yang mereka derita menuntut partisipasi dan kebebasan yang lebih luas serta penghargaan atas HAM."

Mary Robinson yakin, gerakan-gerakan rakyat yang berbeda itu bisa memiliki dampak transformasi, jika seandainya perempuan bisa leluasa berpartisipasi secara setara dalam struktur hukum dan konstitusi baru di Tunisia, Mesir, Bahrain, Libya, dan barangkali negara lainnya pula.

Ging Ginanjar
Editor: Marjory Linardy