100 Hari Neraka Ruanda
Lebih dari dua puluh tahun silam dunia dikejutkan dengan pembersihan etnis di Ruanda. Dalam seratus hari hingga satu juta orang meregang nyawa lewat peluru, tombak dan parang.
Awal Tragedi
Pada April 6, 1994, sekelompok orang tak dikenal menembak jatuh pesawat yang mengangkut Presiden Ruanda, Juvenal Habyarimana ketika akan mendarat di bandara Kigali. Sang presiden dan rekan sejabatnya asal Burundi, Cyprien Ntaryamira, keduanya berasal dari suku Hutu, tewas seketika. Saat itu kabar tersiar, militan suku Tutsi yang bertanggungjawab. Keesokan harinya pesta pembunuhan pun dimulai.
Pembunuhan Berencana
Militan suku Hutu tidak cuma membantai minoritas Tutsi, melainkan juga kelompok Hutu yang menghalangi pembunuhan. Mereka datang dengan persiapan matang dan pertama-tama membidik aktivis HAM, wartawan dan politisi. Salah satu korban adalah Perdana Menteri Agathe Uwiringiymana.
Peringatan yang Tak Digubris
Pada Januari 1994, Romeo Dallaire, Komandan United Nations Assistance for Rwanda (UNAMIR) sudah bersiap menangani kabar burung soal "pembersihan Tutsi" yang beredar. Tapi surat peringatannya yang ia kirim ke PBB tanggal 11 Januari dan dikenal dengan sebutan "Genocide Fax" itu tak digubris.
Media Kebencian
Stasiun radio Mille Collines dan Kangura, majalah mingguan di Ruanda, ikut menyulut kebencian etnis dengan pemberitaannya. Tahun 1990 Kangura memublikasikan laporan bernada rasialis berjudul "Sepuluh Perintah Hutu." Mille Collines yang sebenarnya dikenal dengan siaran musik pop dan olahraga, malah menganjurkan warga sipil Hutu memburu dan membunuh Tutsi.
Berlindung di Hotel
Adalah Paul Rusesabagina, pahlawan kemanusiaan yang mempertaruhkan nyawa dengan menyembunyikan 1000 warga suku Tutsi di Hotel Des Mille Collines, Kigali. Ia menggantikan seorang manajer asal Belgia yang mengungsi setelah pembantaian berkecamuk. Dengan menyogok uang dan alkohol dalam jumlah besar, ia mencegah milisi Hutu membantai pengungsi yang berlindung di hotelnya.
Darah di Rumah Ibadah
Kesucian tidak lagi menjadi bagian dari rumah ibadah selama pembantaian di Ruanda. Lebih dari 4000 laki-laki, perempuan dan anak-anak menemui ajal lewat kampak, pisau dan parang di gereja Ntarama. Kini gereja ini adalah satu dari sekian banyak tugu peringatan genosida. Tengkorak dan tulang manusia serta bekas tembakan yang memenuhi tembok mengingatkan apa yang terjadi 20 tahun silam.
Peran Perancis
Pemerintah Perancis tetap berhubungan baik dengan rejim Hutu di Ruanda. Ketika militer Perancis mengintervensi bulan Juni, rejim di Kigali membiarkan milisi dan ekstremis Hutu untuk melarikan diri ke Republik Demokrasi Kongo dengan membawa persenjataan lengkap. Hingga kini kelompok bersenjata itu masih mengobarkan ancaman terhadap warga Ruanda.
Gelombang Pengungsi
Selama pembantaian, jutaan suku Tutsi dan Hutu di Ruanda melarikan diri ke Tanzania, Zaire dan Uganda. Di Zaire saja gelombang pengungsi mencapai angka dua juta orang. Di antara yang mengungsi adalah bekas anggota militer dan milisi bersenjata yang ikut membantai suku Tutsi. Mereka kemudian membiayai kelompok pemberontak Democratic Forces Liberation of Rwanda (FDLR) di Kongo.
Pembebasan oleh Pemberontak
Pada 4 Juli 1994, pemberontak Tutsi dari Rwandan Patriotic Front (RPF) mulai berpatroli di sekitar kota Kigali. Saat itu mereka telah membebaskan hampir seluruh negeri dari tangan ekstrimis Hutu yang melarikan diri ke Zaire dan mengakhiri pembersihan etnis terhadap suku Tutsi. Namun begitu kelompok aktivis HAM juga menuding pemberontak ikut melakukan kejahatan kemanusiaan.
Berakhirnya Genosida
Pemimpin RPF, Mayor Jendral Paul Kagame mengumumkan berakhirnya perang melawan tentara pemerintah. Serdadu pemberontak saat itu sudah menguasai ibukota dan kota-kota terbesar. Paul Kagame kemudian terpilih menjadi presiden Ruanda dalam pemilu tahun 2000.
Luka yang Tak Kunjung Sirna
Genosida Ruanda berlangsung selama hampir tiga bulan. Para korban kebanyakan dibunuh dengan parang. Tetangga membantai tetangga. Bahkan bayi dan kaum lansia pun ikut meregang nyawa. Jalan-jalan dipenuhi mayat dan anggota tubuh manusia. Hingga kini pembantaian Tutsi masih menjadi trauma nasional yang belum akan pulih dalam waktu dekat.